Senin, 21 Desember 2015

MANTAP!! Kisah Bang Ali, Gubernur Maksiat yang Membangun Jakarta


Ali Sadikin adalah Gubernur paling legendaris dalam sejarah Jakarta. Ia hadir di tengah situasi kacau, yang kala itu Jakarta sedang dilanda krisis ekonomi, pangan, dan kondisi politik pemerintah pasca G30SPKI.

Ali Sadikin menjadi gubernur yang sangat merakyat dan dicintai rakyatnya. Karena itu ia disapa akrab oleh penduduk kota Jakarta dengan panggilan Bang Ali sementara istrinya, Ny. Nani Sadikin, seorang dokter gigi, disapa Mpok Nani.

Pengangkatan Ali Sadikin oleh Bung Karno dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti perlunya keamanan di Jakarta dan pembangunan Jakarta harus terus berlanjut. Tapi yang paling penting adalah upaya Bung Karno membentengi dirinya atas hajaran Suharto yang secara sepihak mengumumkan Surat Perintah 11 Maret 1966, atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai SP 11 Maret 1966 dan oleh kelompok Suharto disebut Supersemar.

Kekacauan politik yang sedemikian rupa, ditambah makin melemahnya Soekarno dalam berhadapan dengan Suharto, membuat Soekarno kuatir sendiri atas keamanan Jakarta, selain itu ia juga masih bermimpi untuk tetap menjaga Jakarta sebagai kota yang berbudaya, kota yang hidup sesuai dengan apa yang Bangsa Indonesia impikan.

Jelas bagi Bung Karno, bila ia meneruskan Sumarno (Gubernur sebelum Ali Sadikin) terus menjabat jadi Gubernur DKI, situasi kota tidak akan efektif, saat itu terjadi banyak sabotase dan sabotase yang paling kentara adalah sabotase ekonomi, seperti kelangkaan beras.

Di saat itu kemudian Ali Sadikin hadir dalam benak Soekarno, saat dirinya terus ditekan kelompok Suharto dan tekanan Internasional yang dilakukan pers barat, Bung Karno harus bertindak cepat : "Menyelamatkan Djakarta..!!"

Ali Sadikin akhirnya diangkat jadi Gubernur DKI pada 29 April 1966, Ali yang waktu itu masih menjabat Menteri Perhubungan, langsung bertindak sebagai Gubernur DKI. Pagi itu pukul 10 pagi di Istana Negara, Bung Karno melantik Ali dan bicara panjang lebar dengan Ali, disinilah kemudian Ali meresapi apa maunya Bung Karno.

Setelah mahkota kepemimpinan berada di era Soeharto, Ali Sadikin begitu banyak mendapat tekanan dari berbagai sisi. Salah satunya adalah Anggaran Jakarta yang tidak masuk akal.

Saat Ali Sadikin menghadap Pak Harto, Ali baru tahu bahwa anggaran Jakarta di masa Suharto awal berkuasa hanya Rp 66 juta per tahun..!

Budget anggaran belanja Rp. 66 juta rupiah setahun itu dinilai Bang Ali terlalu kecil untuk meningkatkan pelayan kepada Masyarakat. Ada 3,6 juta warga, yg jumlahnya terus meningkat karena urbanisasi. 60 % warga Jakarta saat itu tinggal di kampung yang becek dan menyedihkan. Sanitasi buruk, tidak ada fasilitas umum untuk menunjang kehidupan yang baik.

Hal pertama yang dilakukan Bang Ali saat itu adalah membentuk pola budaya kerja di antara pegawai Pemda itu sendiri. Sudah bukan rahasia lagi, sebagai Gubernur, Bang Ali memaki, berteriak bahkan ada yang ditempeleng karena disiplin kerja yang buruk. Sudah terbiasa dengar suara menggelegar “Sontoloyo“, “Goblok". Atau berkata "memang ini warisan nenek moyangnya!".

Mottonya adalah "Service is money, money is tax" sehingga "no tax no service". Bang Ali pernah berkata "Jangan rakyat mengharapkan dari saya jika tidak mau membayar pajak!!." Bang Ali saat itu sangat menggenjot pajak. Walau bukan pajak pribadi, tapi Bang Ali memungut pajak lewat pajak kepemilikan kendaraan bermotor, sampai pajak berniaga.

Ia bahkan berani melegalkan judi. Berdasarkan payung hukum UU no 11 tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah daerah memungut pajak atas izin perjudian. Cara ini adalah terobosan Bang Ali untuk membangun Jakarta. Terlebih dengan anggaran tahunan yang hanya 66 juta rupiah, dan selalu defisit setiap tahunnya.

Saat itu Ali Sadikin naik jeep-nya bersama seorang staf, Ali melihat banyak sekali orang Jakarta di pinggir-pinggir warung sedang berjudi. Ali perhatikan itu, dan Ali tahu, banyak kasino-kasino gelap bertumbuhan di Jakarta, tapi duitnya malah lari ke jago-jago beking, "Kenapa kasino itu tidak dilegalkan dan diambil pajaknya untuk bangun Jakarta? Kas Jakarta, kosong ... !!"

Menurutnya, daripada gelap, lebih baik dilegalkan dan uang pajak masuk ke kas pemda. Bang Ali juga menegaskan judi hanya untuk masyarakat Cina, karena sudah dianggap budaya dan juga judi untuk mereka yang bukan Islam.

Hanya saja, banyak warga pribumi yg beragama Islam yang ikut main judi. Bang Ali kesal sekali. Kata Bang Ali, “Kalau umat Islam ikut judi, artinya keIslaman orang itu yang bobrok!! bukan Gubernurnya. “

Bang Ali berkata, "Ini tanggung jawab saya di akhirat. Saya bilang ke Tuhan, ada 300 ribu anak yg tidak sekolah, dan 3 juta warga yg miskin. Kondisi sekolah di Jakarta saat itu, sekolah -sekolah hanya dengan lantai tanah dan dinding bambu dengan meja dijejali sampai 5 orang."

"Banyak ditemukan penyakit kusta di kota ini, bahkan anak - anak dengan perut buncit, gusi merah dan mata melotot!" Lanjut beliau.

Dengan uang judi, Bang Ali membangun kota Jakarta dan disalurkan untuk sekolah sekitar 20 milyar. Sampai tahun 1974, sudah 700 gedung sekolah dibangun.

Itu belum termasuk fasilitas sosial, puskesmas, perbaikan kampung MHT, membeli bus-bus, memperbaiki shelter, pembangunan jalan - jalan. Semua itu menghabiskan biaya 17 milyar, hampir seperempat dari total pengeluaran pembangunan DKI.

Lalu dengan uang pendapatan dari pajak judi, Bang Ali mendirikan Terminal Lapangan Banteng, Grogol, Cililitan, Blok M , Pulo Gadung dan banyak lagi.

Pada tahun 1974 ia dan team dari Jerman melakukan studi jaringan kereta api Jakarta yg berhubungan, dengan arus keluar masuk dari dan ke daerah lain.

Salah satu peninggalan Bang Ali yang terkenal adalah proyek perbaikan kampung MHT – Mohamad Husni Thamrin. Kampung di Jakarta saat itu tidak ada air bersih, tidak ada jalan, MCK diempang-empang, dan pintu rumah berhadapan dengan kakus. Dengan uang judinya, Bang Ali mulai menggarap lima daerah. Kampung Bali, Jawa, Pademangan, Keagungan dan Kartini. Lalu menyusul kampung lain.

Bang Ali sangat disiplin menertibkan ibukota, ia keras sekali soal sampah dan selokan. Ia pernah turun sendiri di tengah hujan waktu malam mengontrol aliran air di selokan yang mampet karena sampah. Dengan tangannya, ia menyodok-nyodok lalu mengangkuti sampah sendiri. Ia juga terjun ke lapangan dan menegur siapa-siapa yang tak disiplin dalam kebersihan di Jakarta.

Sementara sikap enterpreneur-nya amat terlihat, Bang Ali harus putar otak bisnisnya agar Jakarta menjadi kota yang menguntungkan. Bang Ali memanggil Ciputra yang di tempo lalu ditugasi Bung Karno bikin Ancol. Bang Ali meminta agar Ancol pembangunannya dipercepat, dan Ancol dalam waktu singkat jadi aset positif pemerintahan DKI.

Bang Ali juga membangun kebun binatang Ragunan, visi Ali Sadikin amat luar biasa soal kebun binatang ini, ia ingin Jakarta memiliki kebun binatang lengkap dengan studi dan pemeliharaan hewan. Saat itu Ragunan menjadi kebun binatang percontohan di Asia Tenggara, sebelum Singapura memiliki garden zoo-nya yang luar biasa.

Bang Ali amat ingat pesan Bung Karno agar Jakarta menjadi kota berbudaya, dan memiliki pusat kesenian. Ia mulai membangun Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Kampung Betawi.

Di bidang pendapatan kota, Bang Ali adalah jagonya. Ia membangun Pasar Tanah Abang yang menjadi pusat perdagangan Jakarta. Sampai sekarang, Pasar Tanah Abang adalah pusat perdagangan tekstil di Asia. Pasar Tanah Abang terbukti membangkitkan secara berdikari kota Jakarta.

Di bidang promosi perdagangan, Bang Ali membangun Jakarta Fair. Jakarta Fair adalah kelihaian Bang Ali dalam membangun struktur bisnis kota. Jakarta Fair bukan saja jadi pusat perdagangan dan jasa banyak pihak, tapi jadi sumber pendapatan ekonomi masyarakat, Jakarta Fair ini adalah kelanjutan dari Pasar Malam Gambir yang dulu amat terkenal di jaman kolonial.

Bang Ali meminta Ciputra melalui Yayasan Jaya Raya untuk membantu pendirian majalah Tempo, karena kelompok jurnalis ini memiliki potensi. Lucunya, di nomor pertama penerbitan Majalah Tempo, isi Majalah ini justru menyentil Gubernur.

"Kritik diperlukan. Tapi kritik yg mengada-ada saya lawan." Kata bang Ali.

"Ini konsekuensi jadi Gubernur, kalau tidak mau dikritik, jangan jadi pejabat publik."

Bang Ali selalu menganggap kritik punya maksud baik. Kata Bang Ali, "Saya dikritik jadi Gubernur judi, Gubernur maksiat. Biar saja. Mereka tidak paham apa maksud saya."

Begitulah sosok Legendaris Gubernur Jakarta. Ia sangat cerdas dan pandai melihat celah. Ditekan berbagai pihak, mendapat kecaman dari beberapa lapisan masyarakat. Ia tetap pada prinsipnya, bahwa ia akan membawa Jakarta dengan setulus hati, sesuai janjinya pada Bung Karno, sosok idolanya. Bahkan ketika ia meninggalkan kursi Gubernur, bang Ali mewariskan surplus kas sebesar 115 milyar rupiah. Luar biasa!

Sumber : Buku Ali Sadikin Membenahi Kota Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar